RJN– Ada yang menarik dari masa-masa kampanye presiden dari empat tahun lalu hingga kini, yakni bertebarannya berita-berita bohong atau yang lebih dikenal sebagai hoax. Tentu bertebarannya hoax memiliki konsekuensi yang cukup serius, bahkan bisa mengancam proses demokrasi negara.
Pemerintah pun mulai mengambil langkah atas fenomena ini, seperti memberlakukan undang-undang yang mengatur soal pelaku penyebaran hoax. Situs besar seperti Google, dan media sosial mulai dari Facebook hingga Twitter juga ikut ambil langkah dengan memfilter konten yang beredar.
Tapi sepertinya hoax tidak akan jadi masalah kalau masyarakat pembaca tidak ikut-ikutan terpancing isi beritanya. Kecuali kalau kita mau memahami psikologis dari konsumen (atau pembaca) berita online, maka kita tidak dapat memberikan solusi terhadap hal ini.
Bangkitnya media sosial memang memegang andil yang cukup besar untuk masalah penyebaran hoax. Mungkin pernah dengar yang namanya click baiting? Biasanya artikel dengan judul yang membuat si pembaca tertarik untuk meng-klik artikel tersebut, begitu diklik, website-nya dapat uang deh.
Salah satu sebab krusial yang sebenarnya bisa dihindari adalah, pembaca masa kini yang cenderung tak ambil pusing untuk mencari sumber jurnalistik yang benar dan terpercaya.
Ini terjadi akibat kombinasi dari arus informasi yang terus menerus mengalir sementara atensi yang dimiliki para pembaca sangat terbatas.
Hoax sebenarnya sudah ada sejak pertama kali internet hadir. Forum-forum diskusi seperti Usenet di tahun 90an sampai 2000an dibanjiri hoax yang biasanya berbau teori konspirasi dan kabar-kabar lainnya yang penuh sensasi. Kadang, teori konspirasi ada yang ikut terangkat ke permukaan dan media mainstream lewat email.
Sekarang, di era media sosial, masyarakat bisa mendapatkan berita-berita hoax dari mana saja, tanpa sumber yang jelas, dan yang memperparah, tidak ada “penjaga gerbang” yang dapat memverifikasi sumber berita tersebut. Akibatnya politisi, selebriti, serta figur publik lain yang termakan hoax dengan mudahnya menyebarkan berita-berita bohong tersebut.
Selain itu, saat membaca berita online, tak jarang sumber yang didapat adalah teman sendiri. Karena kita cenderung percaya dengan teman sendiri, filter kognitif pun melemah, yang pada akhirnya malah menguatkan media sosial sebagai corong yang efektif untuk menyebarkan berita bohong.
Solusinya, news aggregator seperti Kurio, bisa jadi salah satu solusi untuk mengatasi penyebaran hoax. Selain bisa memfilter informasi yang akan dibaca dengan fitur kostumisasi, berita yang disajikan pun telah dikurasi, sehingga makin meminimalisir untuk masuknya hoax.(red/rjn)
Comment