RJN, Cirebon – Gerakan mahasiswa telah menjadi fenomena sosial politik sejak awal abad yang lalu. Perannya pada saat tertentu begitu mengguncang dan menyedot perhatian. Aksi-aksi yang dilakukan tidak jarang mempunyai pengaruh yang sungguh luar biasa dalam pengambilan keputusan politis penting dan itu masih teringat jelas tiga belas tahun silam. Militansi gerakan menjadi nyata yang menjadi kendala utama dalam setiap gerakan atau aksi. Sehingga daapat kita sebut dengan ‘kekuatan moral’ yang datang pada saat kekacauan, kebimbangan serta perasaan yang dirasa bersama dan pergi seiring stabilitas tegak kembali. Seolah gerakan mahasiswa digariskan tidak boleh terus memainkan perannya dalam kehidupan sosial politis secara konstan. Kaum konservatif meyakini bahwa : “Tinggalkan mereka sendirian, dan mereka akan hancur sendiri”.
Tepatnya pada tahun 1998 telah memaksa gerakan mahasiswa seluruh daerah untuk turun ke jalan melakukan aksi-aksi sosial yang selama ini yang menuntut pemerintahan bersih serta berwibawa. Tepatnya pada bulan Mei, gerakan mahasiswa Indonesia mencapai klimaksnya saat mereka berhasil menduduki gedung DPR/MPR dan berhasil pula memaksa Soeharto turun sebagai Presiden. Kejadian tak berhenti sampai disitu, beberapa bulan kemudian, aksi-aksi protes pun kembali terdengar dengan membawa suara tuntutan untuk diadilinya Mantan Presiden Soeharto, dicabutnya dwifungsi ABRI dan dibatalkannya sidang istimewa MPR.
Gelombang aksi massa ini memaksa Pemerintah Habibie turun tangan dengan ‘tangan besi’ sehingga mengakibatkan terbunuhnya beberapa mahasiswa di berbagai kota, yang terbesar dapat kita lihat pada ‘Tragedi Semanggi’ pertengahan Novermber. Langkah-langkah yang ditempuh oleh pemerintahan baru tidak menyurutkan gerakan mahasiswa. Pemerintah transisi pun terus-menerus belum menampakkan diri untuk memperbaiki dirinya, tidak berhasil menangani gerakan ini. Senantiasa kekerasan aparat pun menjadi salah satu tuntutan baru yang semakin meluas: dihapuskannya kekerasan negara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sehubungan dengan lapisan masyarakat yang telah kembali pada kebutuhan seharian, maka gerakan mahasiswa dapat dikatakan ‘back to campus’. Kembali berjuang di internal kampusnya untuk mendemokratiskan kehidupannya sehingga dapat dijadikan basis perubahan sosial secara meluas. Di samping itu kita masih sering terlihat kelompok-kelompok mahasiswa yang masih turun ke jalan untuk membangkitkan gairah masyarakat serta keikutsertaan mahasiswa dalam berbagai kasus demi tujuan memperbaiki hidup masyarakat yang berkeadilan sosial. Walaupun demikian, tetaplah gerakan mahasiswa yang harus konsisten menjaga kemurnian gerakannya untuk selalu ikut menjaga pemerintahan demokratis demi masyarakat yang lebih sejahtera.
Sangatlah erat hubungan antara kehidupan kampus dengan situasi di luar kampus seperti, pematangan diri secara organisasional, kaderisasi, hubungan antar kelompok yang berbeda, prioritas isu di kampus yang sekiranya harus di angkat dan menuntut agar tuntutan tersebut segera diselesaikan. Fenomena inilah yang terjadi dalam kehidupan kampus tetapi tentu saja modal utama ialah moralitas daripada mahasiswa itu sendiri sehingga kelak kehidupan di luar kampus yang akan berhadapan dengan intriks yang memaksa kita untuk memilih bungkusan layaknya buah kedondong ataukah buah durian.
Melihat realitas sekarang ini, tidak sedikit gerakan-gerakan yang dilakukan mahasiswa yang turun ke jalan mendapatkan dukungan penuh dari kalangan kelas menengah bahkan elite politik dengan akomodasi, konsumsi dan obat-obatan. Hal ini tak lain dan tak bukan hanya digunakan sebagai ‘alat’ saja, yang sesungguhnya golongan masyarakat lebih banyak berperan dan selama ini paling diuntungkan oleh status quo, kelas menengah. Dapat kita rasakan langsung apabila terjadi aksi-aksi mahasiswa ke jalan yang hanya memacetkan jalan, anarkis, memicu kerusuhan sampai dengan orasi provokatif yang berdampak kepada bentrok fisik dengan aparat bahkan dengan masyarakat sekitar. Dan apabila aksi mahasiswa yang melibatkan elemen masyarakat yang dirugikan, itu akan sangat mudah dikatakan mahasiswa adalah kaum provokator.
Proses demokratisasi yang selalu dilakukan oleh aktor intelektual ini, sudah saatnya di implementasikan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan turut aktif memberikan sumbangsih ide gagasannya, salah satunya “masuk” ke dalam sistem, partai politik. Penulis mengenal dengan baik beberapa mantan aktivis gerakan mahasiswa yang sudah mendarma baktikan kepada masyarakat dengan terpilihnya menjadi Anggota DPRD Kota Cirebon dan tentunya dengan berbagai macam “kendaraan”.
Saudara sesama gerakan mahasiswa sangat bernilai sebab mereka berjuang melalui dasar-dasar nilai yang sama, yakni kemanusiaan, keadilan dan solidaritas. Salah satu saudara gerakan mahasiswa penulis bernama Dirman, seorang pejuang ekstra parlementer yang begitu gigih memperjuangkan hak-hak rakyat jauh sebelum dia masuk ke dalam partai politik Berkarya sebagai “kendaraannya”. Yang menggelitik di pikiran saya mulai muncul pertanyaan, mengapa dia memilih Partai Berkarya yang notabenenya partai titisan Orde Baru? Sederhana dia menjawab: “Hari ini bukan memilih partai politiknya melainkan sejauh mana figur yang memang akan berjuang untuk kemaaslahatan orang banyak”.
Seorang teman, sahabat bahkan seperti saudara “sedarah” (ideologis) memang tak akan pernah hilang warnanya dimanapun dia tinggal, dan saya percaya akan hal itu. Darma baktinya untuk rakyat sudah ia perjuangkan sewaktu masih menjadi bagian parlemen jalanan, dan saatnya orang-orang seperti dirinya hadir di tengah kehampaan dalam lapangan ideologi, politik dan organisasi.
Satu pesan saya untuknya adalah jangan mau dijadikan kader komoditi kaum kapital yang mana hanya digunakan untuk melanggengkan sistem apalagi kekuasaan. Jangan terjebak pada demokrasi semu, yang artinya demokrasi dilakukan oleh segelintir kelompok untuk kepentingan dan akan berujung pada perubahan yang beratasnamakan demokrasi kepentingan. Kepentingan adalah sifatnya tidak berubah, tetap. Sehingga jangan tercengang apabila suatu waktu kaum oposisi terhadap kekuasaan yang seharusnya menjadi balancing pemerintahan, akan berubah sikap, yang awalnya mendukung demokrasi menjadi mementingkan stabilitas (anti demokrasi). Begitupun dengan gerakan-gerakan mahasiswa, hasil mahasiswa yang terjebak dalam demokrasi ini akan menghasilkan manusia ‘baik’.
Oleh karena itulah, mantan aktivis gerakan mahasiswa harus dipaksa kembali memposisikan dirinya, mengambil sikap tegas, menyusun prioritas utama dan strategi perjuangan dalam kemudian hari di luar kampus, mereka dapat menjalankan amanat rakyat dengan bermoral karena pendidikannya di internal kampus, itu adalah modal utama. Dan bukanlah cap sebagai kumpulan provokator massa lagi, bukan juga penghambat aktivitas keseharian bagi masyarakat dan bukan sekedar orasi-orasi kosong tanpa realisasi bagi masyarakat umum. Semoga mantan aktivis gerakan mahasiswa mampu memberi warna di parlemen se-Ciayumajakuning guna kesejahteraan masyarakat banyak.(*)
Oleh : Sutan Aji Nugraha
Penulis adalah Pengamat Politik, tinggal di Kota Cirebon