Alesan Pencabutan Pergub No.54 Tahun Menurut Ferry Sofwan Arif

oleh -

RJN, Bekasi – Kadisnakertrans Jawa Barat Ferry Sofwan Arif menyebut pencabutan Pergub Nomor 54 Tahun 2018 tidak ada kepentingan pengusaha dalam upah minimum kota dan kabupaten.

Hal itu dikatakan Ferry saat diskusi HRD Networking Day tentang Kontroversi UMK 2019 yang bertajuk “Mengharap Asa Pasca Pencabutan Pergub Nomor 54/2018, di Hotel Primebiz, Cikarang Selatan, Selasa (13/11/2018).

Menurut Ferry, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, jelas ditegaskan bahwa upah minimum sektor kota (UMSK) harus ada kesepakatan antara asosiasi pengusaha dengan serikat pekerja.

“Jadi bukan karena kekuasaan “Politik” pejabat di kota/kabupaten seperti wali kota dan bupati atau dewan pengupahan untuk mengajukan hal tersebut,” kata dia.

Ferry mengungkapkan, penandatangann Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Barat pada 4 September 2018 itu dilakukan oleh Pj M Iriawan. Saat itu, pihaknya tengah mengundang 5 perwakilan dewan pengupahan kabupaten/kota di Karawang agar segera membahas usulan UMK kota kabuapten.

Meskipun pada 4 September itu ada kenaikan angka pertumbuhan PDB maupun inflasi. Lima wilayah itu yakni kota/kabupaten Bekasi, Karawang, Purwakarta dan Subang.

“Dari situ bergulir, teman-teman serikat kerja merasa bahwa poin-poin pada Pergub tersebut tidak sesuai dengan usulan UMK. Mereka menginginkan kenaikan upah minimum ada KHL, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi,” terang dia.

Ferry mengatakan, saat ini penetapan upah minimum sektoral menjadi kontroversial yang mengacu pada PP Kemnaker Nomor 7 Tahun 2013 ditegaskan bahwa untuk mnetapkan sektor unggulan ada delapan indikator, diantaranya homogenitas, jumlah perusahaan, jumlah tenaga kerja, devisa, kemampuan perusahaan, serikat pekerja dan sebagainya.

“Nah dengan adanya delapan indikator dan PP Nomor 78 Tahun 2015 yang harus memasukan KHL (Kondisi Hidup Layak), serikat pekerja tidak setuju Pergub 54/2018,” ungkapnya.

Dia menyampaikan, Disnakertrans bersama Apindo telah merevisi Pergub Nomor 54 Tahun 2018 untuk diusulkan kembali. Meski begitu, urusan UMP tetap berjalan.

Praktisi Hukum Perburuan Salahudin Gaffar melihat kontroversi pencabutan Pergub ada dua yakni pertama, produk hukum. dan kedua, konten dari PP Nomor 78. Menurutnya, PP 78 ini menguntungkan serkat pekerja.

Namun yang perlu diperhatikan, lanjut Ia, setiap ada perselisihan berkaitan dengan upah selalu membuat aturan. Menurutnya, produk hukum yang di lahirkan tidak disiapkan dengan baik.

“Jadi aturan yang baik itu minimal ada hasrat kejelasan, tidak ada pertentangan yang lain, dan tidak boleh berubah-ubah maupun sinkroninasi,” katanya.

Ketua Umum Asosiasi Praktisi Human Resaurce Indonesia (ASPHRI) Yosminaldi mengatakan, tiga bulan menjelang akhir tahun menajdi ;horor’ bagi dunia industri.

“Mulai dari Oktober langsung was-was seperti mau perang. Ada kewaspadaan dan kesiagaan di dunia industri,” kata dia.

Menurutnya, setiap pembahasan upah minimum menjadi tanda tanya besar bagi pengusaha (investor). Namun berbeda dengan investasi di negara Minyanmar, Vietnam dan philipina.

“Negara itu luar biasa, bagaimana ketenangan, kenyamanan dan kestabilan berinvestasi. Ini harus menjadi pelajaran bagi kita,” kata dia.

Yos mengapresiasi PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, namun harus ada konsep setiap tahun kenaikan upah minimum.

Ia juga mengkhawatirkan, memasuki revolusi industri 4.0 (Robotisasi digital) akan berdampak pada perkembangan dunia industri. Menurut data BKPM, rating investasi perusahaan yang menggunakan teknologi robot meningkat. Sementara, penyerapan tenaga kerja penurun.

“Ini yang harus dipikirkan oleh serikat pekerja, tidak saja mengurus Perbub saja,” imbaunya. (ziz/rjn)

Comment