RakyatJabarNews.com – Hampir senada dengan Beethoven, Soesilo Toer–penulis buku, Pram dalam Kelambu, ini menceritakan bahwa, sastrawan yang namanya berkali-kali masuk sebagai nominator peraih Nobel Sastra ini adalah penyuka kopi. Saya pikir, dari dua contoh di atas, telah menempatkan kopi pada posisi penting lahirnya karya-karya legendaris.
Sejalan dengan gerakan kolektif yang lahir dengan motivasi menguatkan sisi ekonomi komoditas kopi melalui koperasi, akan lebih mengental bila kopi dapat pula melahirkan gerakan kultural di setiap unsur penggerak komoditas kopi. Misalnya, sejauh mana kedai-kedai kopi mampu menjadi wadah pergulatan wacana tentang masa depan kopi dan para pemeliharanya. Kopi tidak hanya terlibat dalam kepentingan pasar, ia juga menjadi media pembuka nalar dan kepekaan masyarakat terhadap situasi sosial yang melingkunginya. Menciptakan forum-forum diskusi, pemutaran film, pentas seni, adalah bentuk nyata pembelaan terhadap eksistensi kopi.
Oleh karena itu, kesadaran kolektif dan gerakan kultural dapat menjadi titik tolak pertumbuhan kopi lokal dengan cara yang paling mungkin. Sepanjang pengamatan penulis, ruang-ruang yang mengandaikan diri sebagai tempat pertemuan kopi dengan para penikmatnya, belum sampai pada semangat menancapkan nalar sebagai akar keberpihakan terhadap hazanah kebudayaan generasi pendahulu. Warung-warung kopi atau kafe yang tumbuh sengkarut hari ini, di dalamanya hampir tidak tergerak untuk memunculkan isu-isu penting perihal hajat hidup dan problem krusial masyarakat. Ia sekadar ruang pelepasan bagi setumpuk kecemasan dan rasa penat.
Bandingkan dengan tradisi lepau di Minang, misalnya, yang telah melahirkan sejumlah gagasan penting masyarakat desa. Sampai hari ini ruang tersebut masih diyakini sebagai perekat paling efektif untuk mempertemukan gagasan dan usulan kebijakan publik di lingkup yang paling sederhana.
Kebiasaan komunal masyarakat Cirebon tidak mengenal ruang publik sebagai media strategis untuk membincangkan kegelisahan dan pergulatan wacana. Logika dan motivasi pemilik modal ketika membuat warung kopi belum beranjak dari kalkulasi untung rugi. Lantas, siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab terhadap keberlangsungan kehidupan kopi dan gagasan genuine yang menyertainya?
Apakah berlebihan bila menaruh harapan kepada masyarakat Cirebon untuk menjadikan kopi sebagai subjek yang menginspirasi tumbuhnya kesadaran kolektif dan gerakan kultural di warung-warung atau kafe sebagai bentuk revitalisasi mata rantai ekonomi yang selama ini tidak terurus? Petani, kopi, dan para pecintanya perlu membangun kesepakatan secara dialektis agar kopi tidak selalu berakhir di kolam pelimbahan.
*) Penulis adalah pegiat sastra di Lingkar Jenar