Bekasi – Belanja pegawai Pemerintah Kabupaten Bekasi kembali menjadi sorotan. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025, pos belanja pegawai tercatat mencapai 42 persen dari total anggaran. Angka itu jauh di atas batas maksimal 30 persen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Bekasi, Aria Dwi Nugraha, menyebut kondisi tersebut mencerminkan belum efisiennya tata kelola anggaran daerah. Ia menilai, dominasi belanja pegawai membuat ruang fiskal untuk pembangunan dan pelayanan publik semakin sempit.
“Saya secara pribadi sangat prihatin karena belanja pegawai kita besar. Artinya, harus ada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jika PAD meningkat, kewajiban kita untuk memenuhi batas 30 persen ini akan tercapai,” kata Aria, Selasa 7 Oktober 2025.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Politikus Partai Gerindra itu menilai, potensi PAD Kabupaten Bekasi sebenarnya masih besar, namun belum tergarap secara maksimal. Ia mencontohkan sektor retribusi parkir di tepi jalan yang tersebar di lebih dari 500 titik. Jika setiap titik parkir menyumbang Rp100 ribu per hari, potensi penerimaannya bisa mencapai Rp18,25 miliar per tahun.
Namun, realisasi pendapatan dari sektor tersebut baru mencapai ratusan juta rupiah per tahun. “Ini kebocoran yang harus kita tutup,” ujar Aria menegaskan.
Ia menilai lemahnya sistem pengawasan dan manajemen retribusi menjadi salah satu penyebab kebocoran PAD. Karena itu, DPRD mendorong pemerintah daerah untuk melakukan pembenahan, termasuk merombak struktur pejabat yang dinilai tidak produktif.
“Mudah-mudahan Pak Bupati nanti bisa merombak kabinetnya dan menempatkan orang sesuai kemampuan. Kalau PAD hanya naik 2 persen setiap tahun, itu artinya perangkat daerah tidak bekerja optimal,” kata dia.
Aria menegaskan, upaya menekan porsi belanja pegawai tidak bisa dilakukan hanya dengan efisiensi belaka, melainkan harus dibarengi strategi peningkatan pendapatan yang konkret. Tanpa itu, ketergantungan daerah terhadap dana transfer pusat akan terus tinggi, sementara ruang untuk program publik semakin terbatas.
“Kalau PAD naik signifikan, baru kita bisa bicara pembangunan yang berkelanjutan,” ujarnya. (Advertorial)










