Kabupaten Cirebon Memiliki Angklung Bungko yang Sudah Berusia Ratusan Tahun

oleh -

RakyatJabarNews.com, Cirebon – Di Kabupaten Cirebon, tepatnya di Desa Bungko Kecamatan Kapetakan, terdapat sebuah angklung yang sudah berusia ratusan tahun, tepatnya di zaman kerajaan Hindu-Budha.

Angklung tersebut kini tersimpan di rumah pemiliknya yang merupakan keturunan dari si pembuat pertamanya, yakni Ardinah (60). Angklung tersebut dibungkus dengan kain putih, dan diberi hiasan di atasnya. Sedangkan di sisinya diberi kemenyan. Ardinah sendiri enggan untuk menyentuhnya sembarangan. Karena, akan terjadi hal yang tidak diinginkan.

Menurut Ardinah, dirinya selalu membacakan doa-doa dan sesajian setiap malam Jumat, supaya angklung tersebut tidak berbunyi, alias tenang. Jadi, jika tidak diberi sesajian, maka angklungnya akan berbunyi sendiri.

“Tiap hari Maulid juga saya selalu membersihkan angklung itu. Dan air bekas cucian yang tidak boleh terkena manusia. Jika terkena, maka manusia itu akan celaka,” jelasnya saat ditemui awak media di rumahnya di Desa Bungko, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Kamis (15/3).

Ardinah mengakui, dirinya mendapatkan angklung tersebut secara turun temurun. Sehingga, dirinya tidak mengetahui siapa pembuat pertama angklung tersebut.

Menurut Jaso selaku Ketua Angklung Bungko saat ditemui di Kantor Kuwu Desa Bungko Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Kamis (15/3) konon katanya angklung tersebut terbuat dari bambu Bali. Jadi, ada rakit dari Bali yang menyasar ke daerah Bungko. Kemudian, bambunya dijadikan angklung.

Perbedaan dari angklung Bungko dengan angklung Sunda adalah tariannya. Angklung Bungko digunakan sebagai alat musik pengiring tarian. Tarian tersebut berupa tarian perang dalam menjaga wilayah perbatasan. Sedangkan untuk angklung Sunda hanya untuk instrumen saja.

Angklung tersebut, lanjut Jaso, adalah simbol untuk mempersatukan kabupaten Cirebon khusunya Bungko, dan perbatasan Kabupaten Indramayu. Jadi, tarian yang ditampilkan memegang tarian untuk perang.

“Ada lima macam tarian yang dibawa oleh penari, yaitu Tari Panji, Tari Banteleo, Teri Ayam Alas, Tari Bebek Moyor, dan Tari Blarak Singklih,” terangnya.

Jaso melanjutkan, tarian dalam angklung Bungko ini dimainkan oleh 6 orang penari. Jika digabung dengan pemain gamelan, jumlahnya mencapai 20 orang.

Masih di tempat yang sama, menurut Kuwu Bungko Moch. Carkim, angklung tersebut biasa digunakan untuk acara Kunjung Buyut dan Sedekah Bumi. Namun, angklung yang asli tidak dimainkan, hanya digunakan sebagai simbolis saja.

“Karena usianya yang sudah ratusan tahun, jadi tidak dimainkan,” ujarnya.

Angklung ini juga sudah dibawa ke mana-mana untuk pertunjukan kesenian, seperti di Jakarta, Sukabumi, Yogyakarta, dan daerah-daerah lainnya. Selain itu, juga pernah dibawa ke Keraton Kasepuhan Kota Cirebon untuk pertunjukan seni di sana.

Dia menyayangkan dengan pemerintah Kabupaten Cirebon yang selalu tidak berupaya melestarikan kesenian angklung Bungko. Padahal, pemerintah Kota Cirebon melalui Keraton Kasepuhan sudah menunjukkan kepeduliannya dengan menampilkan kesenian tersebut.

“Saya harap pemerintah Kabupaten Cirebon bisa memperhatikan kesenian asli Bungko ini,” pungkasnya.(Juf/RJN)

Berita Rekomendasi